Rabu, 21 September 2011

tak tentu arah

alunan kisahku mengalir begitu deras
memaksa lirih perih tak bertepi..
syahdu aku seperti dulu, kini mulai tak terdengar..
entah terbawa arus kenistaan yg bergumul
atau mungkin mati terkikis pasir-pasir yang menderu
titik embun mulai mengering tidak lagi patut untuk dipuja..
hmm.. apakah aku tidak lagi seperti itu?
begitu aku.., kaku.., rapuh..,
bias bayang malam pun berputar pagi, terperangkap terlalu dalam
terhanyut seperti sampan tak bertuan..
hendak kemana aku ini? Tak tentu arah..
mata yang mulai lelah, hati yang mulai membusuk,
sanggupkah gelang patah ini kutemukan?
Sanggupkah kata ini ku jadikan permata, kujadikan bunga
kujadikan apa saja yang bisa menyelimuti helai syair yang ku rajut..
Perlahan iba menghangatkan tubuhku…
membakar cemburu… mengoyak amarahku…

Rabu, 13 Juli 2011

sebuah cerita

Kalau tidak ada lagi kamu di hari depan ku..
Ini bukan salah mu..
Aku sudah memilih,
Jauh sebelum kamu menerka..
Aku sudah menentukan,
Jauh sebelum kamu merencanakan..
Aku sudah memutuskan,
Jauh sebelum kamu meminta aku untuk terus tinggal..
Kalau tidak ada lagi kamu di waktu depan ku..
Ini bukan salah ku..
Kamu sudah berusaha,
Jauh sebelum aku mencegah..
Kamu sudah bersikap,
Jauh sebelum aku mengubah..
Kamu sudah berangan,
Jauh sebelum aku menolak kamu untuk terus ada..
Kalau tidak ada lagi kita di masa depan..
Ini bukan salah kita..
Kita sudah saling menyayangi,
Meski akhirnya menjadi sangat disayangkan..
Kita sudah saling mengerti,
Meski akhirnya menjadi tidak dimengerti..
Kita sudah saling percaya,
Meski akhirnya menjadi tidak bisa dipercaya..
Kalau masa depan yang terjadi tidak seperti bayangan di masa lalu..
Ini bukan salah masa lalu..
Kalau lelaki yang bersama mu saat membentang janur kuning bukan aku..
Ini pun bukan salahnya..
Dan kalau di masa depan hanya ada aku dan kamu..
Ini bukan tentang kesalahan..
Ini hanya tentang mengikhlaskan ‘kita’..

Kamis, 23 Juni 2011

Iman dan Prasasti Puisi


Malam menggantung sepi di tiap tiang-tiang pagarnya, gelap yang menyeramkan menjaga pintu gerbang dan keheningan menyeruak masuk kedalam kamar Iman yang sedang membaca buku yang hampir lapuk ditelan masa. Kekhidmatan membaca membuat Iman tak memperhatikan rembulan yang tersenyum penuh makna melihatnya lewat jendela yang terbuka mengundang hasrat keinginan sang malam.
Rembulan perlahan mendekati Iman lewat cahyanya yang indah membelah kegelapan dan duduk disebelah Iman menjadi bayang-bayang dan ikut membaca buku tua warisan sejarah penyair Cinta. Iman menoleh dan mendapati bayang rembulan menjelma bersanding dengannya. Perlahan dia bangkit menyentil pegal yang hinggap dan berjalan menuju jendela kamarnya yang terbuka menantang malam.
Iman menatap Rembulan dan hatinya berbicara pada rembulan lewat sinarnya yang indah kemilau dibias permukaan kolam malam. "Rembulan, katakan padaku kenapa kau tak mendekatiku dan memeluk jiwaku yang rindu siraman pesonamu?"
"Karena aku bukanlah jiwa seperti dirimu, aku adalah gambaran pesona wajah keindahan, dan aku hanya bisa memberi pesonaku dengan wajah indahku."
"Rembulan, pada siapa kau abdikan pesonamu yang tak terukur dengan balas?"
"Aku abdikan pesonaku pada jiwa-jiwa yang mengerti keindahan dan mampu merasakan pesona yang kutebarkan."
Iman membalikkan tubuh dan memandang peraduan yang menatapnya lembut namun membisu.
"Hai peraduan setiaku, apa yang kau simpan dalam kebisuanmu ditiap siang dan malam?"
"Tuanku, kebisuan adalah rumahku, dan aku memberikan kasih sayang seperti musim, aku akan menyayangimu hingga tubuhku menipis, dan aku siap musim yang lain menggantikanku, maka biarkan kuabdikan diriku padamu dan ikhlaslah menerima pengabdianku."
Iman membelai peraduannya perlahan dengan kelembutan hatinya. Kemudian ia membaringkan tubuhnya menatap langit-langit kamar yang tersenyum hangat menyambut pandang matanya.
"Langit-langit kamar, apa yang engkau lakukan di situ atas diriku?"
"Tuanku, aku di sini memetik harpa malam dan melantunkan lagu nina bobo mengiringi tidurmu."
Tubuh yang digerayangi lelah terbaring memberikan dirinya pada pelukan peraduan yang dengan ikhlas menerima tubuh yang tebal dibalut keinginan. Perlahan tak tersadari kelopak mata melangkah menuju muaranya. Dan gerbang bawah sadar terbuka mengundang derit-derit memanggil merinding yang tertelungkup di ujung gelap. Cahaya menyeruak masuk mendorong gelap hingga terpental ke celah-celahdinding malam.
Sepasang kaki tegak jiwa Iman berdiri diambang gerbang yang tak sempurna terbuka. Melangkah perlahan dengan penuh perasaan, telapak kakinya menyapa ramah wajah-wajah lantai yang berbaris menyambut sosok impian.
Langkah lembut menyapa tiap barisan wajah-wajah berbinar, hingga sebuah singgasana melambaikan tangan pada sosok impian. Dengan ketenangan bak permukaan telaga tanpa jamah sosok impian melangkah dan duduk di singgasana Kerajaan Mimpi.
Lampu-lampu mulai membuka mata dan memandang permadani biru yang membentang.
Satu-persatu sosok yang lain datang dan menyapa lembut permadani biru yang
membentang. Menunggu sabda dari sosok impian raja Kerajaan Mimpi.
Bidadari-bidadari datang membawakan cawan-cawan berisi bening air kasih sayang
dan menyajikan pada sosok-sosok yang menunggu.
"Wahai jiwa-jiwa kehausan, teguklah air kasih dari cawan-cawan bidadari mimpi,
agar retak-retak diatas petak hatimu menyatu."
Genderang kehausan ditabuh dan iramanya menggugah hasrat hati meneguk tirta
amerta yang ditawarkan oleh gema menggugah sukma. Sosok-sosok berwajah tegang
memandang sosok impian menunggu sari kata berselancar di laut jiwa mereka.
Dan terdengar suara menggema membias ke telinga-telinga hati; "Denting suara harpa malam menggugah niat bunga-bunga malam menebarkan undangan ke segenap penjuru alam bawah sadar. Dengan kesenduan yang mengharu menyentuh rongga-rongga kekalutan. Menyanyikan lagu harapan dan angan-angan yang terbersit dialam kesadaran. Tentang sebuah rencana yang belum terlaksana, tentang seikat janji yang belum ditepati, tentang masa depan yang dirindukan. Ada tanya yang tersimpan rapi dalam kotak rahasia hati, dan kuncinya mengapit bibir yang tak kuasa mencibir."

Hening sejenak menaungi dunia mimpi; "Kerinduan terduduk tersesat belantara Cinta, tak menemukan gada-gada pengarah lesak panah yang dibentangkan. Kecintaan pada Cinta yang terpatri di dinding hati menutup pandangan pada dunia yang lain, dunia yang tak ada Cinta didalamnya. Dunia yang hanya ada rasa liar berlari-lari dan mencengkeram mangsa tanpa denda tertimpa. Dunia yang dipenuhi wajah-wajah tai bermuka emas."
Bedug ditabuh gema kalimat Illahi menembus alam memenuhi semesta raya. Dan
sosok impian menggelepar terlempar kealam kesadaran, sementara sosok-sosok
tegang terlena dalam belaian keheningan diselimuti dingin menuntun tangan
menarik kehangatan.
Sosok tubuh terjaga menyempurnakan pandangan menyapu ruangan. Jerat-jerat
keengganan perlahan terlepaskan dan hati menuntun langkah menuju padasan yang
berisi air penyucian.
Doa-doa menyembur teratur dari bibir berpengetahuan, syukur terucapkan dan
harapan dibiaskan. Bersyukur pada karunia Illahi akan sebuah 'jidat' yang mampu
sempurna bersujud bicara pada-Nya.
Senyum pagi belum terlihat tertutup cadar-cadar kegelapan yang meremang. Segunduk gundah menonjol dipermukaan hati yang menyempitkan tulang-tulang dada hingga menundukpun sesak masih terasa. Gundukan sebesar biji sawi namun mencemarkan air kelegaan yang memenuhi telaga hati. Hati seorang Pencinta tertimpa biji sawi yang dibawa angin kepiluan yang bertiup dari arah yang tak terkata. Senyum teredam, hasrat melepas dahaga tercekat. Mata hati menatap ruang-ruang jiwa yang tanpa angin bertiup, tanpa embun dipagi hari, tanpa canda mentari di siang hari, hanya mimpi yang menghantui.
Kokok ayam jantan bersahut-sahutan menandakan alas kaki untuk dikenakan, agar
saat berjalan menuju pancuran tanah yang terpijak tak terenggut keperawanannya.
Berjalan dengan kehati-hatian agar semak-semak belukar tak terbangun dari
tidurnya dalam selimut dingin yang menipis.
Dengan bahasa selembut bahasa hati, Iman menyapa pancoran air yang tak pernah berhenti memberi jalan pada mata air untuk memberikan manfaat bagi penggunanya. "Selamat menyongsong mentari wahai jiwa memberi jalan kehidupan."
Dengan dahaga yang menempel di kulitnya yang menyimpan endapan-endapan debu
Iman menyerahkan tubuhnya untuk disucikan dari kotoran-kotoran malam. "Wahai jiwa yang yang menyimpan asa, lembut sapamu menggugah hatiku mendengungkan doa untuk perjalananmu, terimalah sejuk segar tuanku yang bersumber dari inti gunung keselamatan."
Endapan-endapan yang menempel pada kulit sang pencinta luntur oleh kesejukan air pancoran yang bersumber dari inti gunung keselamatan. Sebelum meninggalkan tempat permulaan perjalanan Iman tuk menuliskan sebait puisi pada daun yang merelakan tubuhnya untuk menyimpan pahatan sang pencinta.
"Bayanganmu masih mengikutiku
hingga aku sampai disini
saat kurasakan siraman airnya
kuteringat nasehatmu
saat kulihat bening airnya
kuteringat bola matamu
saat kupandang mentari pagi
kuteringat senyummu
dan setiap hari kuingat itu."
"Terima kasihku pada daun yang memberikan tubuhnya untuk kulukai dengan kuku
jariku"
Dengan langkah bak Arjuna, Iman meninggalkan prasasti puisi yang baru saja dia
buat. Setiap langkahnya diikuti oleh semerbak wangi air pancoran hingga semak-semak menunduk hormat dan pohon-pohon memberi salam. Rambutnya yang lembut terurai panjang bagai perawan masih basah oleh air kehidupan yang meresap kedalam otaknya dan memberikan wacana baru tentang sebuah arti perjalanan. Perjalanan yang hingga kini masih dia lakukan untuk mencari arti kesejatian. Sebuah tanda tanya melingkar menjadi kalung tak kasat mata di lehernya.
Terasa ada yang menggenggam tangannya saat dia mulai meninggalkan persinggahan sementara. Sedikit keraguan menempel di lehernya dia menengok dan melihat sosok bayangan berjalan seiring dengannya sambil memegang tangannya. Bayangan seorang wanita cantik yang sangat dikenalnya. Bayangan yang selalu melintas dalam benaknya di setiap dia disapa diam. Bayangan Asti yang tersenyum penuh makna.
Kebahagiaan namun sekaligus kesedihan, kebahagiaan berpelukan dengan kesedihan
dalam hatinya. Kebahagiaan memeluk dan memandang jauh ke awan yang berarak sementara kesedihan menyandarkan kepalanya didada kebahagiaan yang tak mampu mengartikan perpaduan. Perpaduan yang mengiris hati menjadi lapis-lapis yang setiap lapisnya berbicara tentang ketidak berdayaan. Perpaduan yang juga menata lapis-lapis menjadi utuh kembali dan bicara tentang ketegaran.
Langkah kaki terayun manja dalam belaian kesejukan pagi yang mengantar keindahan, membuka jalan dengan bungah bagi jiwa pencinta yang disanjung bunga-bunga.
Bayangan cantik tak pernah layu selalu bersanding dengan bayangan Pencinta yang mengikuti jejak waktu yang menuntun langkahnya tiada tuju. Pengembaraan jiwa tiada batas cakrawala mencari jejak langkah kaki pertama yang dia tinggalkan di suatu gunung saksi. Mengikuti arah mata angin menuju awal langkah kemudian berhenti menulis kisah, dan tuju itu masihlah teramat jauh dari jejak terakhir, masih belum tergambar dalam kanvas jiwa, belum terbayang dalam angan dan mimpi.

Senin, 06 Juni 2011

sebaris hujan

Pada sebaris hujan
kita masuki cakrawala
dengan payung terbuka tanpa lembayung senja

terpa angin meninggalkan jejak dingin di dada.
dan engkau menggigil di jantungku.

Jutaan tetes air beterbangan
seperti tangis terbebas dari kesedihan
seperti bunga-bunga tumpah dari jambangan

mengisi hatimu yang bimbang
mengubah rintihmu jadi tembang dalam rintik merdu

Selasa, 31 Mei 2011

di sejuk tatapanmu

Matamu sepasang coklat tua yang teduh 
memandangmu, seperti rindang pepohonan di tengah naungan skolam dahaga 
aku tercebur....
Jatuh dan mencintaimu

dan cinta berpendar dalam berjuta pixel warna 
memancar di percik cipratan airmatamu.

Dan di sejuk tatapanmu,.. 

aku melukis puisi.... 
sebab di sana ada spektrum cinta 
membuat rindu seteduh biru lautan 
yang anggun menyusun ombak gemuruh 
membuat kecemasan membias ungu seperti langit malam 
menunggu bintang-bintang berlabuh.

Minggu, 29 Mei 2011

labuhan hati

Semoga, sayap patahku
cukup menghangatkan pangeran hati
Yang melambungkan bahagiaku,
meneduhkan di saat diri telah merapuh

Kini kumengerti arti penantian
memahami makna gelombang sebelum daratan

saat ksatria kejora memanah mendung di angkasa
derai tawaku menjadi bintang di langit terang
binar mataku cahaya di jiwanya
dia labuhan hatiku

Senin, 17 Januari 2011

QAISH dan LAILA (part 2)

Untuk mengungkapkan segenap perasaannya yang terdalam, ia menulis dan menggubah syair kepada kekasihnya pada potongan-potongan kertas kecil. Kemudian, ketika ia diperbolehkan menyendiri di taman, ia pun menerbangkan potongan-potongan kertas kecil ini dalam hembusan angin. Orang-orang yang menemukan syair-syair dalam potongan-potongan kertas kecil itu membawanya kepada Majnun. Dengan cara demikian, dua kekasih itu masih bisa menjalin hubungan.

Karena Majnun sangat terkenal di seluruh negeri, banyak orang datang mengunjunginya. Namun, mereka hanya berkunjung sebentar saja, karena mereka tahu bahwa Majnun tidak kuat lama dikunjungi banyak orang. Mereka mendengarkannya melantunkan syair-syair indah dan memainkan serulingnya dengan sangat memukau. Sebagian orang merasa iba kepadanya; sebagian lagi hanya sekadar ingin tahu tentang kisahnya. Akan tetapi, setiap orang mampu merasakan kedalaman cinta dan kasih sayangnya kepada semua makhluk. Salah seorang dari pengunjung itu adalah seorang ksatria gagah berani bernama ‘Amar, yang berjumpa dengan Majnun dalam perjalanannya menuju Mekah. Meskipun ia sudah mendengar kisah cinta yang sangat terkenal itu di kotanya, ia ingin sekali mendengarnya dari mulut Majnun sendiri.

Drama kisah tragis itu membuatnya sedemikian pilu dan sedih sehingga ia bersumpah dan bertekad melakukan apa saja yang mungkin untuk mempersatukan dua kekasih itu, meskipun ini berarti menghancurkan orang-orang yang menghalanginya!
Ketika Amar kembali ke kota kelahirannya, Ia pun menghimpun pasukannya. Pasukan ini berangkat menuju desa Laila dan menggempur suku di sana tanpa ampun. Banyak orang yang terbunuh atau terluka.

Ketika pasukan ‘Amar hampir memenangkan pertempuran, ayah Laila mengirimkan pesan kepada ‘Amr, “Jika engkau atau salah seorang dari prajuritmu menginginkan putriku, aku akan menyerahkannya tanpa melawan. Bahkan, jika engkau ingin membunuhnya, aku tidak keberatan. Namun, ada satu hal yang tidak akan pernah bisa kuterima, jangan minta aku untuk memberikan putriku pada orang gila itu”.

Majnun mendengar pertempuran itu hingga ia bergegas kesana. Di medan pertempuran, Majnun pergi ke sana kemari dengan bebas di antara para prajurit dan menghampiri orang-orang yang terluka dari suku Laila. Ia merawat mereka dengan penuh perhatian dan melakukan apa saja untuk meringankan luka mereka.

Amar pun merasa heran kepada Majnun, ketika ia meminta penjelasan ihwal mengapa ia membantu pasukan musuh, Majnun menjawab, “Orang-orang ini berasal dari desa kekasihku. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi musuh mereka?” Karena sedemikian bersimpati kepada Majnun, ‘Amar sama sekali tidak bisa memahami hal ini. Apa yang dikatakan ayah Laila tentang orang gila ini akhirnya membuatnya sadar. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk mundur dan segera meninggalkan desa itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Majnun.

Laila semakin merana dalam penjara kamarnya sendiri. Satu-satunya yang bisa ia nikmati adalah berjalan-jalan di taman bunganya. Suatu hari, dalam perjalanannya menuju taman, Ibn Salam, seorang bangsawan kaya dan berkuasa, melihat Laila dan serta-merta jatuh cinta kepadanya. Tanpa menunda-nunda lagi, ia segera mencari ayah Laila. Merasa lelah dan sedih hati karena pertempuran yang baru saja menimbulkan banyak orang terluka di pihaknya, ayah Laila pun menyetujui perkawinan itu. Tentu saja, Laila menolak keras. Ia mengatakan kepada ayahnya, “Aku lebih senang mati ketimbang kawin dengan orang itu.” Akan tetapi, tangisan dan permohonannya tidak digubris. Lantas ia mendatangi ibunya, tetapi sama saja keadaannya. Perkawinan pun berlangsung dalam waktu singkat. Orangtua Laila merasa lega bahwa seluruh cobaan berat akhirnya berakhir juga.

Akan tetapi, Laila menegaskan kepada suaminya bahwa ia tidak pernah bisa mencintainya. “Aku tidak akan pernah menjadi seorang istri,” katanya. “Karena itu, jangan membuang-buang waktumu. Carilah seorang istri yang lain. Aku yakin, masih ada banyak wanita yang bisa membuatmu bahagia.” Sekalipun mendengar kata-kata dingin ini, Ibn Salam percaya bahwa, sesudah hidup bersamanya beberapa waktu lamanya, pada akhirnya Laila pasti akan menerimanya. Ia tidak mau memaksa Laila, melainkan menunggunya untuk datang kepadanya.

Ketika kabar tentang perkawinan Laila terdengar oleh Majnun, ia menangis dan meratap selama berhari-hari. Ia melantunkan lagu-Iagu yang demikian menyayat hati dan mengharu biru kalbu sehingga semua orang yang mendengarnya pun ikut
menangis. Derita dan kepedihannya begitu berat sehingga binatang-binatang yang berkumpul di sekelilinginya pun turut bersedih dan menangis. Namun, kesedihannya ini tak berlangsung lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan kedamaian dan ketenangan batin yang aneh. Seolah-olah tak terjadi apa-apa, ia pun terus tinggal di reruntuhan itu. Perasaannya kepada Laila tidak berubah dan malah menjadi semakin lebih dalam lagi.

Dengan penuh ketulusan, Majnun menyampaikan ucapan selamat kepada Laila atas perkawinannya: “Semoga kalian berdua selalu berbahagia di dunia ini. Aku hanya meminta satu hal sebagai tanda cintamu, janganlah engkau lupakan namaku, sekalipun engkau telah memilih orang lain sebagai pendampingmu. Janganlah pernah lupa bahwa ada seseorang yang, meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan memanggil-manggil namamu, Laila”.

Sebagai jawabannya, Laila mengirimkan sebuah anting-anting sebagai tanda pengabdian tradisional. Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan, “Dalam hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaat pun. Kupendam cintaku demikian lama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapapun. Engkau memaklumkan cintamu ke seluruh dunia, sementara aku membakarnya di dalam hatiku, dan engkau membakar segala sesuatu yang ada di sekelilingmu”. “Kini, aku harus menghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal segenap jiwaku menjadi milik orang lain. Katakan kepadaku, kasih, mana di antara kita yang lebih dimabuk cinta, engkau ataukah aku?.

Tahun demi tahun berlalu, dan orang-tua Majnun pun meninggal dunia. Ia tetap tinggal di reruntuhan bangunan itu dan merasa lebih kesepian ketimbang sebelumnya. Di siang hari, ia mengarungi gurun sahara bersama sahabat-sahabat
binatangnya. Di malam hari, ia memainkan serulingnya dan melantunkan syair-syairnya kepada berbagai binatang buas yang kini menjadi satu-satunya pendengarnya. Ia menulis syair-syair untuk Laila dengan ranting di atas tanah.

Selang beberapa lama, karena terbiasa dengan cara hidup aneh ini, ia mencapai kedamaian dan ketenangan sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu pun yang sanggup mengusik dan mengganggunya. Sebaliknya, Laila tetap setia pada cintanya. Ibn Salam tidak pernah berhasil mendekatinya. Kendatipun ia hidup bersama Laila, ia tetap jauh darinya. Berlian dan hadiah-hadiah mahal tak mampu membuat Laila berbakti kepadanya. Ibn Salam sudah tidak sanggup lagi merebut kepercayaan dari istrinya. Hidupnya serasa pahit dan sia-sia. Ia tidak menemukan ketenangan dan kedamaian di rumahnya.
Laila dan Ibn Salam adalah dua orang asing dan mereka tak pernah merasakan hubungan suami istri. Malahan, ia tidak bisa berbagi kabar tentang dunia luar dengan Laila.

Tak sepatah kata pun pernah terdengar dari bibir Laila, kecuali bila ia ditanya. Pertanyaan ini pun dijawabnya dengan sekadarnya saja dan sangat singkat. Ketika akhirnya Ibn Salam jatuh sakit, ia tidak kuasa bertahan, sebab hidupnya tidak menjanjikan harapan lagi. Akibatnya, pada suatu pagi di musim panas, ia pun meninggal dunia. Kematian suaminya tampaknya makin mengaduk-ngaduk perasaan Laila. Orang-orang mengira bahwa ia berkabung atas kematian Ibn Salam,
padahal sesungguhnya ia menangisi kekasihnya, Majnun yang hilang dan sudah lama dirindukannya.
Selama bertahun-tahun, ia menampakkan wajah tenang, acuh tak acuh, dan hanya sekali saja ia menangis. Kini, ia menangis keras dan lama atas perpisahannya dengan kekasih satu-satunya. Ketika masa berkabung usai, Laila kembali ke rumah ayahnya. Meskipun masih berusia muda, Laila tampak tua, dewasa, dan bijaksana, yang jarang dijumpai pada diri wanita seusianya. Semen tara api cintanya makin membara, kesehatan Laila justru memudar karena ia tidak lagi memperhatikan dirinya sendiri. Ia tidak mau makan dan juga tidak tidur dengan baik selama
bermalam-malam.

Bagaimana ia bisa memperhatikan kesehatan dirinya kalau yang dipikirkannya hanyalah Majnun semata? Laila sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggup bertahan lama. Akhirnya, penyakit batuk parah yang mengganggunya selama beberapa bulan pun menggerogoti kesehatannya. Ketika Laila meregang nyawa dan sekarat, ia masih memikirkan Majnun. ....Ah, kalau saja ia bisa berjumpa dengannya sekali lagi untuk terakhir kalinya! Ia hanya membuka matanya untuk memandangi pintu kalau-kalau kekasihnya datang. Namun, ia sadar bahwa waktunya sudah habis dan ia akan pergi tanpa berhasil mengucapkan salam perpisahan kepada Majnun. Pada suatu malam di musim dingin, dengan matanya tetap menatap pintu, ia pun meninggal dunia dengan tenang sambil bergumam, Majnun…Majnun. .Majnun.

Kabar tentang kematian Laila menyebar ke segala penjuru negeri dan, tak lama kemudian, berita kematian Lailapun terdengar oleh Majnun. Mendengar kabar itu, ia pun jatuh pingsan di tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diri
selama beberapa hari. Ketika kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menuju desa Laila. Nyaris tidak sanggup berjalan lagi, ia menyeret tubuhnya di atas tanah. Majnun bergerak terus tanpa henti hingga tiba di kuburan Laila di luar
kota . Ia berkabung dikuburannya selama beberapa hari.

Ketika tidak ditemukan cara lain untuk meringankan beban penderitaannya, per1ahan-lahan ia meletakkan kepalanya di kuburan Laila kekasihnya dan meninggal dunia dengan tenang. Jasad Majnun tetap berada di atas kuburan Laila selama setahun. Belum sampai setahun peringatan kematiannya ketika segenap sahabat dan kerabat menziarahi kuburannya, mereka menemukan sesosok jasad terbujur di atas kuburan Laila. Beberapa teman sekolahnya mengenali dan mengetahui bahwa itu adalah jasad Majnun yang masih segar seolah baru mati kemarin. Ia pun dikubur di samping Laila. Tubuh dua kekasih itu, yang kini bersatu dalam keabadian, kini bersatu kembali.

Konon, tak lama sesudah itu, ada seorang Sufi bermimpi melihat Majnun hadir di hadapan Tuhan. Allah swt membelai Majnun dengan penuh kasih sayang dan mendudukkannya disisi-Nya. Lalu, Tuhan pun berkata kepada Majnun, “Tidakkah engkau malu memanggil-manggil- Ku dengan nama Laila, sesudah engkau meminum anggur Cinta-Ku?”

Sang Sufi pun bangun dalam keadaan gelisah. Jika Majnun diperlakukan dengan sangat baik dan penuh kasih oleh Allah Subhana wa ta’alaa, ia pun bertanya-tanya, lantas apa yang terjadi pada Laila yang malang ? Begitu pikiran ini terlintas dalam benaknya, Allah swt pun mengilhamkan jawaban kepadanya, “Kedudukan Laila jauh lebih tinggi, sebab ia menyembunyikan segenap rahasia Cinta dalam dirinya sendiri.”