Rabu, 21 September 2011

tak tentu arah

alunan kisahku mengalir begitu deras
memaksa lirih perih tak bertepi..
syahdu aku seperti dulu, kini mulai tak terdengar..
entah terbawa arus kenistaan yg bergumul
atau mungkin mati terkikis pasir-pasir yang menderu
titik embun mulai mengering tidak lagi patut untuk dipuja..
hmm.. apakah aku tidak lagi seperti itu?
begitu aku.., kaku.., rapuh..,
bias bayang malam pun berputar pagi, terperangkap terlalu dalam
terhanyut seperti sampan tak bertuan..
hendak kemana aku ini? Tak tentu arah..
mata yang mulai lelah, hati yang mulai membusuk,
sanggupkah gelang patah ini kutemukan?
Sanggupkah kata ini ku jadikan permata, kujadikan bunga
kujadikan apa saja yang bisa menyelimuti helai syair yang ku rajut..
Perlahan iba menghangatkan tubuhku…
membakar cemburu… mengoyak amarahku…

Rabu, 13 Juli 2011

sebuah cerita

Kalau tidak ada lagi kamu di hari depan ku..
Ini bukan salah mu..
Aku sudah memilih,
Jauh sebelum kamu menerka..
Aku sudah menentukan,
Jauh sebelum kamu merencanakan..
Aku sudah memutuskan,
Jauh sebelum kamu meminta aku untuk terus tinggal..
Kalau tidak ada lagi kamu di waktu depan ku..
Ini bukan salah ku..
Kamu sudah berusaha,
Jauh sebelum aku mencegah..
Kamu sudah bersikap,
Jauh sebelum aku mengubah..
Kamu sudah berangan,
Jauh sebelum aku menolak kamu untuk terus ada..
Kalau tidak ada lagi kita di masa depan..
Ini bukan salah kita..
Kita sudah saling menyayangi,
Meski akhirnya menjadi sangat disayangkan..
Kita sudah saling mengerti,
Meski akhirnya menjadi tidak dimengerti..
Kita sudah saling percaya,
Meski akhirnya menjadi tidak bisa dipercaya..
Kalau masa depan yang terjadi tidak seperti bayangan di masa lalu..
Ini bukan salah masa lalu..
Kalau lelaki yang bersama mu saat membentang janur kuning bukan aku..
Ini pun bukan salahnya..
Dan kalau di masa depan hanya ada aku dan kamu..
Ini bukan tentang kesalahan..
Ini hanya tentang mengikhlaskan ‘kita’..

Kamis, 23 Juni 2011

Iman dan Prasasti Puisi


Malam menggantung sepi di tiap tiang-tiang pagarnya, gelap yang menyeramkan menjaga pintu gerbang dan keheningan menyeruak masuk kedalam kamar Iman yang sedang membaca buku yang hampir lapuk ditelan masa. Kekhidmatan membaca membuat Iman tak memperhatikan rembulan yang tersenyum penuh makna melihatnya lewat jendela yang terbuka mengundang hasrat keinginan sang malam.
Rembulan perlahan mendekati Iman lewat cahyanya yang indah membelah kegelapan dan duduk disebelah Iman menjadi bayang-bayang dan ikut membaca buku tua warisan sejarah penyair Cinta. Iman menoleh dan mendapati bayang rembulan menjelma bersanding dengannya. Perlahan dia bangkit menyentil pegal yang hinggap dan berjalan menuju jendela kamarnya yang terbuka menantang malam.
Iman menatap Rembulan dan hatinya berbicara pada rembulan lewat sinarnya yang indah kemilau dibias permukaan kolam malam. "Rembulan, katakan padaku kenapa kau tak mendekatiku dan memeluk jiwaku yang rindu siraman pesonamu?"
"Karena aku bukanlah jiwa seperti dirimu, aku adalah gambaran pesona wajah keindahan, dan aku hanya bisa memberi pesonaku dengan wajah indahku."
"Rembulan, pada siapa kau abdikan pesonamu yang tak terukur dengan balas?"
"Aku abdikan pesonaku pada jiwa-jiwa yang mengerti keindahan dan mampu merasakan pesona yang kutebarkan."
Iman membalikkan tubuh dan memandang peraduan yang menatapnya lembut namun membisu.
"Hai peraduan setiaku, apa yang kau simpan dalam kebisuanmu ditiap siang dan malam?"
"Tuanku, kebisuan adalah rumahku, dan aku memberikan kasih sayang seperti musim, aku akan menyayangimu hingga tubuhku menipis, dan aku siap musim yang lain menggantikanku, maka biarkan kuabdikan diriku padamu dan ikhlaslah menerima pengabdianku."
Iman membelai peraduannya perlahan dengan kelembutan hatinya. Kemudian ia membaringkan tubuhnya menatap langit-langit kamar yang tersenyum hangat menyambut pandang matanya.
"Langit-langit kamar, apa yang engkau lakukan di situ atas diriku?"
"Tuanku, aku di sini memetik harpa malam dan melantunkan lagu nina bobo mengiringi tidurmu."
Tubuh yang digerayangi lelah terbaring memberikan dirinya pada pelukan peraduan yang dengan ikhlas menerima tubuh yang tebal dibalut keinginan. Perlahan tak tersadari kelopak mata melangkah menuju muaranya. Dan gerbang bawah sadar terbuka mengundang derit-derit memanggil merinding yang tertelungkup di ujung gelap. Cahaya menyeruak masuk mendorong gelap hingga terpental ke celah-celahdinding malam.
Sepasang kaki tegak jiwa Iman berdiri diambang gerbang yang tak sempurna terbuka. Melangkah perlahan dengan penuh perasaan, telapak kakinya menyapa ramah wajah-wajah lantai yang berbaris menyambut sosok impian.
Langkah lembut menyapa tiap barisan wajah-wajah berbinar, hingga sebuah singgasana melambaikan tangan pada sosok impian. Dengan ketenangan bak permukaan telaga tanpa jamah sosok impian melangkah dan duduk di singgasana Kerajaan Mimpi.
Lampu-lampu mulai membuka mata dan memandang permadani biru yang membentang.
Satu-persatu sosok yang lain datang dan menyapa lembut permadani biru yang
membentang. Menunggu sabda dari sosok impian raja Kerajaan Mimpi.
Bidadari-bidadari datang membawakan cawan-cawan berisi bening air kasih sayang
dan menyajikan pada sosok-sosok yang menunggu.
"Wahai jiwa-jiwa kehausan, teguklah air kasih dari cawan-cawan bidadari mimpi,
agar retak-retak diatas petak hatimu menyatu."
Genderang kehausan ditabuh dan iramanya menggugah hasrat hati meneguk tirta
amerta yang ditawarkan oleh gema menggugah sukma. Sosok-sosok berwajah tegang
memandang sosok impian menunggu sari kata berselancar di laut jiwa mereka.
Dan terdengar suara menggema membias ke telinga-telinga hati; "Denting suara harpa malam menggugah niat bunga-bunga malam menebarkan undangan ke segenap penjuru alam bawah sadar. Dengan kesenduan yang mengharu menyentuh rongga-rongga kekalutan. Menyanyikan lagu harapan dan angan-angan yang terbersit dialam kesadaran. Tentang sebuah rencana yang belum terlaksana, tentang seikat janji yang belum ditepati, tentang masa depan yang dirindukan. Ada tanya yang tersimpan rapi dalam kotak rahasia hati, dan kuncinya mengapit bibir yang tak kuasa mencibir."

Hening sejenak menaungi dunia mimpi; "Kerinduan terduduk tersesat belantara Cinta, tak menemukan gada-gada pengarah lesak panah yang dibentangkan. Kecintaan pada Cinta yang terpatri di dinding hati menutup pandangan pada dunia yang lain, dunia yang tak ada Cinta didalamnya. Dunia yang hanya ada rasa liar berlari-lari dan mencengkeram mangsa tanpa denda tertimpa. Dunia yang dipenuhi wajah-wajah tai bermuka emas."
Bedug ditabuh gema kalimat Illahi menembus alam memenuhi semesta raya. Dan
sosok impian menggelepar terlempar kealam kesadaran, sementara sosok-sosok
tegang terlena dalam belaian keheningan diselimuti dingin menuntun tangan
menarik kehangatan.
Sosok tubuh terjaga menyempurnakan pandangan menyapu ruangan. Jerat-jerat
keengganan perlahan terlepaskan dan hati menuntun langkah menuju padasan yang
berisi air penyucian.
Doa-doa menyembur teratur dari bibir berpengetahuan, syukur terucapkan dan
harapan dibiaskan. Bersyukur pada karunia Illahi akan sebuah 'jidat' yang mampu
sempurna bersujud bicara pada-Nya.
Senyum pagi belum terlihat tertutup cadar-cadar kegelapan yang meremang. Segunduk gundah menonjol dipermukaan hati yang menyempitkan tulang-tulang dada hingga menundukpun sesak masih terasa. Gundukan sebesar biji sawi namun mencemarkan air kelegaan yang memenuhi telaga hati. Hati seorang Pencinta tertimpa biji sawi yang dibawa angin kepiluan yang bertiup dari arah yang tak terkata. Senyum teredam, hasrat melepas dahaga tercekat. Mata hati menatap ruang-ruang jiwa yang tanpa angin bertiup, tanpa embun dipagi hari, tanpa canda mentari di siang hari, hanya mimpi yang menghantui.
Kokok ayam jantan bersahut-sahutan menandakan alas kaki untuk dikenakan, agar
saat berjalan menuju pancuran tanah yang terpijak tak terenggut keperawanannya.
Berjalan dengan kehati-hatian agar semak-semak belukar tak terbangun dari
tidurnya dalam selimut dingin yang menipis.
Dengan bahasa selembut bahasa hati, Iman menyapa pancoran air yang tak pernah berhenti memberi jalan pada mata air untuk memberikan manfaat bagi penggunanya. "Selamat menyongsong mentari wahai jiwa memberi jalan kehidupan."
Dengan dahaga yang menempel di kulitnya yang menyimpan endapan-endapan debu
Iman menyerahkan tubuhnya untuk disucikan dari kotoran-kotoran malam. "Wahai jiwa yang yang menyimpan asa, lembut sapamu menggugah hatiku mendengungkan doa untuk perjalananmu, terimalah sejuk segar tuanku yang bersumber dari inti gunung keselamatan."
Endapan-endapan yang menempel pada kulit sang pencinta luntur oleh kesejukan air pancoran yang bersumber dari inti gunung keselamatan. Sebelum meninggalkan tempat permulaan perjalanan Iman tuk menuliskan sebait puisi pada daun yang merelakan tubuhnya untuk menyimpan pahatan sang pencinta.
"Bayanganmu masih mengikutiku
hingga aku sampai disini
saat kurasakan siraman airnya
kuteringat nasehatmu
saat kulihat bening airnya
kuteringat bola matamu
saat kupandang mentari pagi
kuteringat senyummu
dan setiap hari kuingat itu."
"Terima kasihku pada daun yang memberikan tubuhnya untuk kulukai dengan kuku
jariku"
Dengan langkah bak Arjuna, Iman meninggalkan prasasti puisi yang baru saja dia
buat. Setiap langkahnya diikuti oleh semerbak wangi air pancoran hingga semak-semak menunduk hormat dan pohon-pohon memberi salam. Rambutnya yang lembut terurai panjang bagai perawan masih basah oleh air kehidupan yang meresap kedalam otaknya dan memberikan wacana baru tentang sebuah arti perjalanan. Perjalanan yang hingga kini masih dia lakukan untuk mencari arti kesejatian. Sebuah tanda tanya melingkar menjadi kalung tak kasat mata di lehernya.
Terasa ada yang menggenggam tangannya saat dia mulai meninggalkan persinggahan sementara. Sedikit keraguan menempel di lehernya dia menengok dan melihat sosok bayangan berjalan seiring dengannya sambil memegang tangannya. Bayangan seorang wanita cantik yang sangat dikenalnya. Bayangan yang selalu melintas dalam benaknya di setiap dia disapa diam. Bayangan Asti yang tersenyum penuh makna.
Kebahagiaan namun sekaligus kesedihan, kebahagiaan berpelukan dengan kesedihan
dalam hatinya. Kebahagiaan memeluk dan memandang jauh ke awan yang berarak sementara kesedihan menyandarkan kepalanya didada kebahagiaan yang tak mampu mengartikan perpaduan. Perpaduan yang mengiris hati menjadi lapis-lapis yang setiap lapisnya berbicara tentang ketidak berdayaan. Perpaduan yang juga menata lapis-lapis menjadi utuh kembali dan bicara tentang ketegaran.
Langkah kaki terayun manja dalam belaian kesejukan pagi yang mengantar keindahan, membuka jalan dengan bungah bagi jiwa pencinta yang disanjung bunga-bunga.
Bayangan cantik tak pernah layu selalu bersanding dengan bayangan Pencinta yang mengikuti jejak waktu yang menuntun langkahnya tiada tuju. Pengembaraan jiwa tiada batas cakrawala mencari jejak langkah kaki pertama yang dia tinggalkan di suatu gunung saksi. Mengikuti arah mata angin menuju awal langkah kemudian berhenti menulis kisah, dan tuju itu masihlah teramat jauh dari jejak terakhir, masih belum tergambar dalam kanvas jiwa, belum terbayang dalam angan dan mimpi.

Senin, 06 Juni 2011

sebaris hujan

Pada sebaris hujan
kita masuki cakrawala
dengan payung terbuka tanpa lembayung senja

terpa angin meninggalkan jejak dingin di dada.
dan engkau menggigil di jantungku.

Jutaan tetes air beterbangan
seperti tangis terbebas dari kesedihan
seperti bunga-bunga tumpah dari jambangan

mengisi hatimu yang bimbang
mengubah rintihmu jadi tembang dalam rintik merdu

Selasa, 31 Mei 2011

di sejuk tatapanmu

Matamu sepasang coklat tua yang teduh 
memandangmu, seperti rindang pepohonan di tengah naungan skolam dahaga 
aku tercebur....
Jatuh dan mencintaimu

dan cinta berpendar dalam berjuta pixel warna 
memancar di percik cipratan airmatamu.

Dan di sejuk tatapanmu,.. 

aku melukis puisi.... 
sebab di sana ada spektrum cinta 
membuat rindu seteduh biru lautan 
yang anggun menyusun ombak gemuruh 
membuat kecemasan membias ungu seperti langit malam 
menunggu bintang-bintang berlabuh.

Minggu, 29 Mei 2011

labuhan hati

Semoga, sayap patahku
cukup menghangatkan pangeran hati
Yang melambungkan bahagiaku,
meneduhkan di saat diri telah merapuh

Kini kumengerti arti penantian
memahami makna gelombang sebelum daratan

saat ksatria kejora memanah mendung di angkasa
derai tawaku menjadi bintang di langit terang
binar mataku cahaya di jiwanya
dia labuhan hatiku

Senin, 17 Januari 2011

QAISH dan LAILA (part 2)

Untuk mengungkapkan segenap perasaannya yang terdalam, ia menulis dan menggubah syair kepada kekasihnya pada potongan-potongan kertas kecil. Kemudian, ketika ia diperbolehkan menyendiri di taman, ia pun menerbangkan potongan-potongan kertas kecil ini dalam hembusan angin. Orang-orang yang menemukan syair-syair dalam potongan-potongan kertas kecil itu membawanya kepada Majnun. Dengan cara demikian, dua kekasih itu masih bisa menjalin hubungan.

Karena Majnun sangat terkenal di seluruh negeri, banyak orang datang mengunjunginya. Namun, mereka hanya berkunjung sebentar saja, karena mereka tahu bahwa Majnun tidak kuat lama dikunjungi banyak orang. Mereka mendengarkannya melantunkan syair-syair indah dan memainkan serulingnya dengan sangat memukau. Sebagian orang merasa iba kepadanya; sebagian lagi hanya sekadar ingin tahu tentang kisahnya. Akan tetapi, setiap orang mampu merasakan kedalaman cinta dan kasih sayangnya kepada semua makhluk. Salah seorang dari pengunjung itu adalah seorang ksatria gagah berani bernama ‘Amar, yang berjumpa dengan Majnun dalam perjalanannya menuju Mekah. Meskipun ia sudah mendengar kisah cinta yang sangat terkenal itu di kotanya, ia ingin sekali mendengarnya dari mulut Majnun sendiri.

Drama kisah tragis itu membuatnya sedemikian pilu dan sedih sehingga ia bersumpah dan bertekad melakukan apa saja yang mungkin untuk mempersatukan dua kekasih itu, meskipun ini berarti menghancurkan orang-orang yang menghalanginya!
Ketika Amar kembali ke kota kelahirannya, Ia pun menghimpun pasukannya. Pasukan ini berangkat menuju desa Laila dan menggempur suku di sana tanpa ampun. Banyak orang yang terbunuh atau terluka.

Ketika pasukan ‘Amar hampir memenangkan pertempuran, ayah Laila mengirimkan pesan kepada ‘Amr, “Jika engkau atau salah seorang dari prajuritmu menginginkan putriku, aku akan menyerahkannya tanpa melawan. Bahkan, jika engkau ingin membunuhnya, aku tidak keberatan. Namun, ada satu hal yang tidak akan pernah bisa kuterima, jangan minta aku untuk memberikan putriku pada orang gila itu”.

Majnun mendengar pertempuran itu hingga ia bergegas kesana. Di medan pertempuran, Majnun pergi ke sana kemari dengan bebas di antara para prajurit dan menghampiri orang-orang yang terluka dari suku Laila. Ia merawat mereka dengan penuh perhatian dan melakukan apa saja untuk meringankan luka mereka.

Amar pun merasa heran kepada Majnun, ketika ia meminta penjelasan ihwal mengapa ia membantu pasukan musuh, Majnun menjawab, “Orang-orang ini berasal dari desa kekasihku. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi musuh mereka?” Karena sedemikian bersimpati kepada Majnun, ‘Amar sama sekali tidak bisa memahami hal ini. Apa yang dikatakan ayah Laila tentang orang gila ini akhirnya membuatnya sadar. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk mundur dan segera meninggalkan desa itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Majnun.

Laila semakin merana dalam penjara kamarnya sendiri. Satu-satunya yang bisa ia nikmati adalah berjalan-jalan di taman bunganya. Suatu hari, dalam perjalanannya menuju taman, Ibn Salam, seorang bangsawan kaya dan berkuasa, melihat Laila dan serta-merta jatuh cinta kepadanya. Tanpa menunda-nunda lagi, ia segera mencari ayah Laila. Merasa lelah dan sedih hati karena pertempuran yang baru saja menimbulkan banyak orang terluka di pihaknya, ayah Laila pun menyetujui perkawinan itu. Tentu saja, Laila menolak keras. Ia mengatakan kepada ayahnya, “Aku lebih senang mati ketimbang kawin dengan orang itu.” Akan tetapi, tangisan dan permohonannya tidak digubris. Lantas ia mendatangi ibunya, tetapi sama saja keadaannya. Perkawinan pun berlangsung dalam waktu singkat. Orangtua Laila merasa lega bahwa seluruh cobaan berat akhirnya berakhir juga.

Akan tetapi, Laila menegaskan kepada suaminya bahwa ia tidak pernah bisa mencintainya. “Aku tidak akan pernah menjadi seorang istri,” katanya. “Karena itu, jangan membuang-buang waktumu. Carilah seorang istri yang lain. Aku yakin, masih ada banyak wanita yang bisa membuatmu bahagia.” Sekalipun mendengar kata-kata dingin ini, Ibn Salam percaya bahwa, sesudah hidup bersamanya beberapa waktu lamanya, pada akhirnya Laila pasti akan menerimanya. Ia tidak mau memaksa Laila, melainkan menunggunya untuk datang kepadanya.

Ketika kabar tentang perkawinan Laila terdengar oleh Majnun, ia menangis dan meratap selama berhari-hari. Ia melantunkan lagu-Iagu yang demikian menyayat hati dan mengharu biru kalbu sehingga semua orang yang mendengarnya pun ikut
menangis. Derita dan kepedihannya begitu berat sehingga binatang-binatang yang berkumpul di sekelilinginya pun turut bersedih dan menangis. Namun, kesedihannya ini tak berlangsung lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan kedamaian dan ketenangan batin yang aneh. Seolah-olah tak terjadi apa-apa, ia pun terus tinggal di reruntuhan itu. Perasaannya kepada Laila tidak berubah dan malah menjadi semakin lebih dalam lagi.

Dengan penuh ketulusan, Majnun menyampaikan ucapan selamat kepada Laila atas perkawinannya: “Semoga kalian berdua selalu berbahagia di dunia ini. Aku hanya meminta satu hal sebagai tanda cintamu, janganlah engkau lupakan namaku, sekalipun engkau telah memilih orang lain sebagai pendampingmu. Janganlah pernah lupa bahwa ada seseorang yang, meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan memanggil-manggil namamu, Laila”.

Sebagai jawabannya, Laila mengirimkan sebuah anting-anting sebagai tanda pengabdian tradisional. Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan, “Dalam hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaat pun. Kupendam cintaku demikian lama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapapun. Engkau memaklumkan cintamu ke seluruh dunia, sementara aku membakarnya di dalam hatiku, dan engkau membakar segala sesuatu yang ada di sekelilingmu”. “Kini, aku harus menghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal segenap jiwaku menjadi milik orang lain. Katakan kepadaku, kasih, mana di antara kita yang lebih dimabuk cinta, engkau ataukah aku?.

Tahun demi tahun berlalu, dan orang-tua Majnun pun meninggal dunia. Ia tetap tinggal di reruntuhan bangunan itu dan merasa lebih kesepian ketimbang sebelumnya. Di siang hari, ia mengarungi gurun sahara bersama sahabat-sahabat
binatangnya. Di malam hari, ia memainkan serulingnya dan melantunkan syair-syairnya kepada berbagai binatang buas yang kini menjadi satu-satunya pendengarnya. Ia menulis syair-syair untuk Laila dengan ranting di atas tanah.

Selang beberapa lama, karena terbiasa dengan cara hidup aneh ini, ia mencapai kedamaian dan ketenangan sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu pun yang sanggup mengusik dan mengganggunya. Sebaliknya, Laila tetap setia pada cintanya. Ibn Salam tidak pernah berhasil mendekatinya. Kendatipun ia hidup bersama Laila, ia tetap jauh darinya. Berlian dan hadiah-hadiah mahal tak mampu membuat Laila berbakti kepadanya. Ibn Salam sudah tidak sanggup lagi merebut kepercayaan dari istrinya. Hidupnya serasa pahit dan sia-sia. Ia tidak menemukan ketenangan dan kedamaian di rumahnya.
Laila dan Ibn Salam adalah dua orang asing dan mereka tak pernah merasakan hubungan suami istri. Malahan, ia tidak bisa berbagi kabar tentang dunia luar dengan Laila.

Tak sepatah kata pun pernah terdengar dari bibir Laila, kecuali bila ia ditanya. Pertanyaan ini pun dijawabnya dengan sekadarnya saja dan sangat singkat. Ketika akhirnya Ibn Salam jatuh sakit, ia tidak kuasa bertahan, sebab hidupnya tidak menjanjikan harapan lagi. Akibatnya, pada suatu pagi di musim panas, ia pun meninggal dunia. Kematian suaminya tampaknya makin mengaduk-ngaduk perasaan Laila. Orang-orang mengira bahwa ia berkabung atas kematian Ibn Salam,
padahal sesungguhnya ia menangisi kekasihnya, Majnun yang hilang dan sudah lama dirindukannya.
Selama bertahun-tahun, ia menampakkan wajah tenang, acuh tak acuh, dan hanya sekali saja ia menangis. Kini, ia menangis keras dan lama atas perpisahannya dengan kekasih satu-satunya. Ketika masa berkabung usai, Laila kembali ke rumah ayahnya. Meskipun masih berusia muda, Laila tampak tua, dewasa, dan bijaksana, yang jarang dijumpai pada diri wanita seusianya. Semen tara api cintanya makin membara, kesehatan Laila justru memudar karena ia tidak lagi memperhatikan dirinya sendiri. Ia tidak mau makan dan juga tidak tidur dengan baik selama
bermalam-malam.

Bagaimana ia bisa memperhatikan kesehatan dirinya kalau yang dipikirkannya hanyalah Majnun semata? Laila sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggup bertahan lama. Akhirnya, penyakit batuk parah yang mengganggunya selama beberapa bulan pun menggerogoti kesehatannya. Ketika Laila meregang nyawa dan sekarat, ia masih memikirkan Majnun. ....Ah, kalau saja ia bisa berjumpa dengannya sekali lagi untuk terakhir kalinya! Ia hanya membuka matanya untuk memandangi pintu kalau-kalau kekasihnya datang. Namun, ia sadar bahwa waktunya sudah habis dan ia akan pergi tanpa berhasil mengucapkan salam perpisahan kepada Majnun. Pada suatu malam di musim dingin, dengan matanya tetap menatap pintu, ia pun meninggal dunia dengan tenang sambil bergumam, Majnun…Majnun. .Majnun.

Kabar tentang kematian Laila menyebar ke segala penjuru negeri dan, tak lama kemudian, berita kematian Lailapun terdengar oleh Majnun. Mendengar kabar itu, ia pun jatuh pingsan di tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diri
selama beberapa hari. Ketika kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menuju desa Laila. Nyaris tidak sanggup berjalan lagi, ia menyeret tubuhnya di atas tanah. Majnun bergerak terus tanpa henti hingga tiba di kuburan Laila di luar
kota . Ia berkabung dikuburannya selama beberapa hari.

Ketika tidak ditemukan cara lain untuk meringankan beban penderitaannya, per1ahan-lahan ia meletakkan kepalanya di kuburan Laila kekasihnya dan meninggal dunia dengan tenang. Jasad Majnun tetap berada di atas kuburan Laila selama setahun. Belum sampai setahun peringatan kematiannya ketika segenap sahabat dan kerabat menziarahi kuburannya, mereka menemukan sesosok jasad terbujur di atas kuburan Laila. Beberapa teman sekolahnya mengenali dan mengetahui bahwa itu adalah jasad Majnun yang masih segar seolah baru mati kemarin. Ia pun dikubur di samping Laila. Tubuh dua kekasih itu, yang kini bersatu dalam keabadian, kini bersatu kembali.

Konon, tak lama sesudah itu, ada seorang Sufi bermimpi melihat Majnun hadir di hadapan Tuhan. Allah swt membelai Majnun dengan penuh kasih sayang dan mendudukkannya disisi-Nya. Lalu, Tuhan pun berkata kepada Majnun, “Tidakkah engkau malu memanggil-manggil- Ku dengan nama Laila, sesudah engkau meminum anggur Cinta-Ku?”

Sang Sufi pun bangun dalam keadaan gelisah. Jika Majnun diperlakukan dengan sangat baik dan penuh kasih oleh Allah Subhana wa ta’alaa, ia pun bertanya-tanya, lantas apa yang terjadi pada Laila yang malang ? Begitu pikiran ini terlintas dalam benaknya, Allah swt pun mengilhamkan jawaban kepadanya, “Kedudukan Laila jauh lebih tinggi, sebab ia menyembunyikan segenap rahasia Cinta dalam dirinya sendiri.”

QAISH dan LAILA (part 1)






Alkisah, seorang kepala suku Bani Umar di Jazirah Arab memiliki segala macam yang diinginkan orang, kecuali satu hal bahwa ia tak punya seorang anakpun. Tabib-tabib di desa itu menganjurkan berbagai macam ramuan dan obat, tetapi tidak berhasil. Ketika semua usaha tampak tak berhasil, istrinya menyarankan agar mereka berdua bersujud di hadapan Tuhan dan dengan tulus memohon kepada Allah swt memberikan anugerah kepada mereka berdua. “Mengapa tidak?” jawab sang kepala suku. “Kita telah mencoba berbagai macam cara. Mari, kita coba sekali lagi, tak ada ruginya.”
Mereka pun bersujud kepada Tuhan, sambil berurai air mata dari relung hati mereka yang terluka. “Wahai Segala Kekasih, jangan biarkan pohon kami tak berbuah. Izinkan kami merasakan manisnya menimang anak dalam pelukan kami. Anugerahkan kepada kami tanggung jawab untuk membesarkan seorang manusia yang baik. Berikan kesempatan kepada kami untuk membuat-Mu bangga akan anak kami.”
Tak lama kemudian, doa mereka dikabulkan, dan Tuhan menganugerahi mereka seorang anak laki-laki yang diberi nama Qais. Sang ayah sangat berbahagia, sebab Qais dicintai oleh semua orang. Ia tampan, bermata besar, dan berambut hitam, yang menjadi pusat perhatian dan kekaguman. Sejak awal, Qais telahmemperlihatkan kecerdasan dan kemampuan fisik istimewa. Ia punya bakat luar biasa dalam mempelajari seni berperang dan memainkan musik, menggubah syair dan melukis.
Ketika sudah cukup umur untuk masuk sekolah, ayahnya memutuskan membangun sebuah sekolah yang indah dengan guru-guru terbaik di Arab yang mengajar di sana , dan hanya beberapa anak saja yang belajar di situ. Anak-anak lelaki dan perempuan dan keluarga terpandang di seluruh jazirah Arab belajar di sekolah baru ini.
Di antara mereka ada seorang anak perempuan dari kepala suku tetangga. Seorang gadis bermata indah, yang memiliki kecantikan luar biasa. Rambut dan matanya sehitam malam; mereka menyebutnya Laila-”Sang Malam”. Meski ia baru berusia dua belas tahun, sudah banyak pria melamarnya untuk dinikahi, sebab-sebagaimana lazimnya kebiasaan di zaman itu, gadis-gadis sering dilamar pada usia yang masih sangat muda, yakni sembilan tahun.
Laila dan Qais adalah teman sekelas. Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka sudah saling tertarik satu sama lain. Seiring dengan berlalunya waktu, percikan ketertarikan ini makin lama menjadi api cinta yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah bukan lagi tempat belajar. Kini, sekolah menjadi tempat mereka saling bertemu. Ketika guru sedang mengajar, mereka saling berpandangan. Ketika tiba waktunya menulis pelajaran, mereka justru saling menulis namanya di atas kertas. Bagi mereka berdua, tak ada teman atau kesenangan lainnya. Dunia kini hanyalah milik Qais dan Laila.
Mereka buta dan tuli pada yang lainnya. Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai mengetahui cinta mereka, dan gunjingan-gunjingan pun mulai terdengar. Di zaman itu, tidaklah pantas seorang gadis dikenal sebagai sasaran cinta seseorang dan sudah pasti mereka tidak akan menanggapinya. Ketika orang-tua Laila mendengar bisik-bisik tentang anak gadis mereka, mereka pun melarangnya pergi ke sekolah. Mereka tak sanggup lagi menahan beban malu pada masyarakat sekitar.
Ketika Laila tidak ada di ruang kelas, Qais menjadi sangat gelisah sehingga ia meninggalkan sekolah dan menyelusuri jalan-jalan untuk mencari kekasihnya dengan memanggil-manggil namanya. Ia menggubah syair untuknya dan membacakannya di jalan-jalan. Ia hanya berbicara tentang Laila dan tidak juga menjawab pertanyaan orang-orang kecuali bila mereka bertanya tentang Laila. Orang-orang pun tertawa dan berkata, ” Lihatlah Qais , ia sekarang telah menjadi seorang majnun, gila!”
Akhirnya, Qais dikenal dengan nama ini, yakni “Majnun”. Melihat orang-orang dan mendengarkan mereka berbicara membuat Majnun tidak tahan. Ia hanya ingin melihat dan berjumpa dengan Laila kekasihnya. Ia tahu bahwa Laila telah dipingit oleh orang tuanya di rumah, yang dengan bijaksana menyadari bahwa jika Laila dibiarkan bebas bepergian, ia pasti akan menjumpai Majnun. Majnun menemukan sebuah tempat di puncak bukit dekat desa Laila dan membangun sebuah gubuk untuk dirinya yang menghadap rumah Laila. Sepanjang hari Majnun duduk-duduk di depan gubuknya, disamping sungai kecil berkelok yang mengalir ke bawah menuju desa itu. Ia berbicara kepada air, menghanyutkan dedaunan bunga liar, dan Majnun merasa yakin bahwa sungai itu akan menyampaikan pesan cintanya kepada Laila. Ia menyapa burung-burung dan meminta mereka untuk terbang kepada Laila serta memberitahunya bahwa ia dekat.
Ia menghirup angin dari barat yang melewati desa Laila. Jika kebetulan ada seekor anjing tersesat yang berasal dari desa Laila, ia pun memberinya makan dan merawatnya, mencintainya seolah-olah anjing suci, menghormatinya dan menjaganya sampai tiba saatnya anjing itu pergi jika memang mau demikian. Segala sesuatu yang berasal dari tempat kekasihnya dikasihi dan disayangi sama seperti kekasihnya sendiri.
Bulan demi bulan berlalu dan Majnun tidak menemukan jejak Laila. Kerinduannya kepada Laila demikian besar sehingga ia merasa tidak bisa hidup sehari pun tanpa melihatnya kembali. Terkadang sahabat-sahabatnya di sekolah dulu datang mengunjunginya, tetapi ia berbicara kepada mereka hanya tentang Laila, tentang betapa ia sangat kehilangan dirinya.
Suatu hari, tiga anak laki-laki, sahabatnya yang datang mengunjunginya demikian terharu oleh penderitaan dan kepedihan Majnun sehingga mereka bertekad embantunya untuk berjumpa kembali dengan Laila. Rencana mereka sangat cerdik. Esoknya, mereka dan Majnun mendekati rumah Laila dengan menyamar sebagai wanita. Dengan mudah mereka melewati wanita-wanita pembantu dirumah Laila dan berhasil masuk ke pintu kamarnya.
Majnun masuk ke kamar, sementara yang lain berada di luar berjaga-jaga. Sejak ia berhenti masuk sekolah, Laila tidak melakukan apapun kecuali memikirkan Qais. Yang cukup mengherankan, setiap kali ia mendengar burung-burung berkicau dari jendela atau angin berhembus semilir, ia memejamkan.matanya sembari membayangkan bahwa ia mendengar suara Qais didalamnya. Ia akan mengambil dedaunan dan bunga yang dibawa oleh angin atau sungai dan tahu bahwa semuanya itu berasal dari Qais. Hanya saja, ia tak pernah berbicara kepada siapa pun, bahkan juga kepada sahabat-sahabat terbaiknya, tentang cintanya.
Pada hari ketika Majnun masuk ke kamar Laila, ia merasakan kehadiran dan kedatangannya. Ia mengenakan pakaian sutra yang sangat bagus dan indah. Rambutnya dibiarkan lepas tergerai dan disisir dengan rapi di sekitar bahunya. Matanya diberi celak hitam, sebagaimana kebiasaan wanita Arab, dengan bedak hitam yang disebut surmeh. Bibirnya diberi lipstick merah, dan pipinya yang kemerah-merahan tampak menyala serta menampakkan kegembiraannya. Ia duduk di depan pintu dan menunggu.
Ketika Majnun masuk, Laila tetap duduk. Sekalipun sudah diberitahu bahwa Majnun akan datang, ia tidak percaya bahwa pertemuan itu benar-benar terjadi. Majnun berdiri di pintu selama beberapa menit, memandangi, sepuas-puasnya wajah
Laila. Akhirnya, mereka bersama lagi! Tak terdengar sepatah kata pun, kecuali detak jantung kedua orang yang dimabuk cinta ini. Mereka saling berpandangan dan lupa waktu.
Salah seorang wanita pembantu di rumah itu melihat sahabat-sahabat Majnun di luar kamar tuan putrinya. Ia mulai curiga dan memberi isyarat kepada salah seorang pengawal. Namun, ketika ibu Laila datang menyelidiki, Majnun dan kawan-kawannya sudah jauh pergi. Sesudah orang-tuanya bertanya kepada Laila, maka tidak sulit bagi mereka mengetahui apa yang telah terjadi. Kebisuan dan kebahagiaan yang terpancar dimatanya menceritakan segala sesuatunya.
Sesudah terjadi peristiwa itu, ayah Laila menempatkan para pengawal di setiap pintu di rumahnya. Tidak ada jalan lain bagi Majnun untuk menghampiri rumah Laila, bahkan dari kejauhan sekalipun. Akan tetapi jika ayahnya berpikiran bahwa, dengan
bertindak hati-hati ini ia bisa mengubah perasaan Laila dan Majnun, satu sama lain, sungguh ia salah besar.
Ketika ayah Majnun tahu tentang peristiwa di rumah Laila, ia memutuskan untuk mengakhiri drama itu dengan melamar Laila untuk anaknya. Ia menyiapkan sebuah kafilah penuh dengan hadiah dan mengirimkannya ke desa Laila. Sang tamu pun
disambut dengan sangat baik, dan kedua kepala suku itu berbincang-bincang tentang kebahagiaan anak-anak mereka. Ayah Majnun lebih dulu berkata, “Engkau tahu benar, kawan, bahwa ada dua hal yang sangat penting bagi kebahagiaan, yaitu
“Cinta dan Kekayaan”.
Anak lelakiku mencintai anak perempuanmu, dan aku bisa memastikan bahwa aku sanggup memberi mereka cukup banyak uang untuk mengarungi kehidupan yang bahagia dan menyenangkan. Mendengar hal itu, ayah Laila pun menjawab, “Bukannya aku menolak Qais. Aku percaya kepadamu, sebab engkau pastilah seorang mulia dan terhormat,” jawab ayah Laila. “Akan tetapi, engkau tidak bisa menyalahkanku kalau aku berhati-hati dengan anakmu. Semua orang tahu perilaku abnormalnya. Ia berpakaian seperti seorang pengemis. Ia pasti sudah lama tidak mandi dan iapun hidup bersama hewan-hewan dan menjauhi orang banyak. “Tolong katakan kawan, jika engkau punya anak perempuan dan engkau berada dalam posisiku, akankah engkau memberikan anak perempuanmu kepada anakku?”
Ayah Qais tak dapat membantah. Apa yang bisa dikatakannya? Padahal, dulu anaknya adalah teladan utama bagi awan-kawan sebayanya? Dahulu Qais adalah anak yang paling cerdas dan berbakat di seantero Arab? Tentu saja, tidak ada yang dapat dikatakannya. Bahkan, sang ayahnya sendiri susah untuk mempercayainya. Sudah lama orang tidak mendengar ucapan bermakna dari Majnun. “Aku tidak akan diam berpangku tangan dan melihat anakku menghancurkan dirinya sendiri,”
pikirnya. “Aku harus melakukan sesuatu.”
Ketika ayah Majnun kembali pulang, ia menjemput anaknya, Ia mengadakan pesta makan malam untuk menghormati anaknya. Dalam jamuan pesta makan malam itu, gadis-gadis tercantik di seluruh negeri pun diundang. Mereka pasti bisa
mengalihkan perhatian Majnun dari Laila, pikir ayahnya. Di pesta itu, Majnun diam dan tidak mempedulikan tamu-tamu lainnya. Ia duduk di sebuah sudut ruangan sambil melihat gadis-gadis itu hanya untuk mencari pada diri mereka berbagai
kesamaan dengan yang dimiliki Laila.
Seorang gadis mengenakan pakaian yang sama dengan milik Laila; yang lainnya punya rambut panjang seperti Laila, dan yang lainnya lagi punya senyum mirip Laila. Namun, tak ada seorang gadis pun yang benar-benar mirip dengannya,
Malahan, tak ada seorang pun yang memiliki separuh kecantikan Laila. Pesta itu hanya menambah kepedihan perasaan Majnun saja kepada kekasihnya. Ia pun berang dan marah serta menyalahkan setiap orang di pesta itu lantaran berusaha
mengelabuinya.
Dengan berurai air mata, Majnun menuduh orang-tuanya dan sahabat-sahabatnya sebagai berlaku kasar dan kejam kepadanya. Ia menangis sedemikian hebat hingga akhirnya jatuh ke lantai dalam keadaan pingsan. Sesudah terjadi petaka ini, ayahnya memutuskan agar Qais dikirim untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah dengan harapan bahwa Allah akan merahmatinya dan membebaskannya dari cinta yang menghancurkan ini.
Di Makkah, untuk menyenangkan ayahnya, Majnun bersujud di depan altar Kabah, tetapi apa yang ia mohonkan? “Wahai Yang Maha Pengasih, Raja Diraja Para Pecinta, Engkau yang menganugerahkan cinta, aku hanya mohon kepada-Mu satu hal
saja,”Tinggikanlah cintaku sedemikian rupa sehingga, sekalipun aku binasa, cintaku dan kekasihku tetap hidup.” Ayahnya kemudian tahu bahwa tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk anaknya.
Usai menunaikan ibadah haji, Majnun yang tidak mau lagi bergaul dengan orang banyak di desanya, pergi ke pegunungan tanpa memberitahu di mana ia berada. Ia tidak kembali ke gubuknya. Alih-alih tinggal dirumah, ia memilih tinggal
direruntuhan sebuah bangunan tua yang terasing dari masyarakat dan tinggal didalamnya. Sesudah itu, tak ada seorang pun yang mendengar kabar tentang Majnun. Orang-tuanya mengirim segenap sahabat dan keluarganya untuk mencarinya.
Namun, tak seorang pun berhasil menemukannya. Banyak orang berkesimpulan bahwa Majnun dibunuh oleh binatang-binatang gurun sahara. Ia bagai hilang ditelan bumi.
Suatu hari, seorang musafir melewati reruntuhan bangunan itu dan melihat ada sesosok aneh yang duduk di salah sebuah tembok yang hancur. Seorang liar dengan rambut panjang hingga ke bahu, jenggotnya panjang dan acak-acakan, bajunya
compang-camping dan kumal. Ketika sang musafir mengucapkan salam dan tidak beroleh jawaban, ia mendekatinya. Ia melihat ada seekor serigala tidur di kakinya. “Hus” katanya, ‘Jangan bangunkan sahabatku.” Kemudian, ia mengedarkan
pandangan ke arah kejauhan.
Sang musafir pun duduk di situ dengan tenang. Ia menunggu dan ingin tahu apa yang akan terjadi. Akhirya, orang liar itu berbicara. Segera saja ia pun tahu bahwa ini adalah Majnun yang terkenal itu, yang berbagai macam perilaku anehnya
dibicarakan orang di seluruh jazirah Arab. Tampaknya, Majnun tidak kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan dengan binatang-binatang buas dan liar. Dalam kenyataannya, ia sudah menyesuaikan diri dengan sangat baik sehingga lumrah-lumrah saja melihat dirinya sebagai bagian dari kehidupan liar dan buas itu.
Berbagai macam binatang tertarik kepadanya, karena secara naluri mengetahui bahwa Majnun tidak akan mencelakakan mereka. Bahkan, binatang-binatang buas seperti serigala sekalipun percaya pada kebaikan dan kasih sayang Majnun. Sang
musafir itu mendengarkan Majnun melantunkan berbagai kidung pujiannya pada Laila. Mereka berbagi sepotong roti yang diberikan olehnya. Kemudian, sang musafir itu pergi dan melanjutkan petjalanannya.
Ketika tiba di desa Majnun, ia menuturkan kisahnya pada orang-orang. Akhimya, sang kepala suku, ayah Majnun, mendengar berita itu. Ia mengundang sang musafir ke rumahnya dan meminta keteransran rinci darinya. Merasa sangat gembira dan
bahagia bahwa Majnun masih hidup, ayahnya pergi ke gurun sahara untuk menjemputnya.
Ketika melihat reruntuhan bangunan yang dilukiskan oleh sang musafir itu, ayah Majnun dicekam oleh emosi dan kesedihan yang luar biasa. Betapa tidak! Anaknya terjerembab dalam keadaan mengenaskan seperti ini. “Ya Tuhanku, aku mohon agar
Engkau menyelamatkan anakku dan mengembalikannya ke keluarga kami,” jerit sang ayah menyayat hati. Majnun mendengar doa ayahnya dan segera keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan bersimpuh dibawah kaki ayahnya, ia pun menangis, “Wahai ayah, ampunilah aku atas segala kepedihan yang kutimbulkan pada dirimu. Tolong lupakan bahwa engkau pernah mempunyai seorang anak, sebab ini akan meringankan beban kesedihan ayah. Ini sudah nasibku mencinta, dan hidup hanya untuk mencinta.”Ayah dan anak pun saling berpelukan dan menangis. Inilah pertemuan terakhir mereka.
Keluarga Laila menyalahkan ayah Laila lantaran salah dan gagal menangani situasi putrinya. Mereka yakin bahwa peristiwa itu telah mempermalukan seluruh keluarga. Karenanya, orangtua Laila memingitnya dalam kamarnya. Beberapa sahabat Laila diizinkan untuk mengunjunginya, tetapi ia tidak ingin ditemani. Ia berpaling kedalam hatinya, memelihara api cinta yang membakar dalam kalbunya.......bersambung......

Sabtu, 08 Januari 2011

Nisan Berdarah

Cerita Rakyat Antara Martapura dan johor

Dahulu kala sekitar tahun 50 – 65an ada cerita tentang dua kekasih yang mempunyai percintaan yang tragis. Berdasarkan beberapa referensi cerita ini pernah di kasetkan dan di tuturkan oleh Bapak Arthoum Ali. Cerita ini juga pernah dimaenkan oleh sandiwara keliling dari Banjar yang masuk ke Sampit sekitar tahun 70an.
Cerita langkapnya sebagai berikut : 

Mashor adalah pemuda yang bertempat tinggal di desa yang sekarang sekitar Pekauman dan Teluk Selong. Mashor berasal dari keluarga yang miskin, tetapi mempunyai pendidikan yang tinggi dan budi akhlaknya tinggi. Dia mempunyai keahlian membaca Al-Quran yang sangat indah didengar. Mashor sebagai orang yang tidak mampu ikut bekerja di rumah Fatimah sebagai pembantu.
Fatimah merupakan gadis dari keluarga kaya dan terpandang. Mereka tinggal disebarang desa Mashor, mungkin sekarang daerah Kampung Melayu. merupakan keluarga pedagang yang mempunyai hubungan dagang keluar daerah. Terutama daerah Singapura.
Mashor sebagai pembantu mempunyai banyak pekerjaan yang harus dilakukannya seperti menimba air, memotong kayu, dan lain-lain. Hari demi hari, bulan demi bulan, itu itu saja yang dilakukannya untuk membiayai hidup dan orang tuanya, Selama bertahun tahun Mashor bekerja dirumah keluarga kaya itu, bahkan sejak Mashor dan Fatimah masik kanak kanak,.
Waktu terus bergulir, Mashor dan Fatimah sama sama berkembang tumbuh menjadi pemuda dan gadis yang beranjak dewasa. Dan seiring perkembangan itu membuat Fatimah dan Mashor secara tidak sadar saling jatuh hati .
Tetapi karena Mashor pemuda yang cerdas, membuat ia sadar bahwa dirinya tidak sepadan dengan gadis pujaannya karena status sosial yang sangat jauh berbeda, hingga keduanya berupaya menjaga ketat kerahasiaan hubungan percintaan mereka, membuat hubungan mereka tidak diketahui oleh keluarga.
Orang tua Fatimah sangat menyadari kelebihan yang ada pada diri pembantunya itu, dan merekapun mengagumi pemuda itu, karena itu maka secara diam diam ayah Fatimah selalu memperhatikan pesuruhnya itu. Akhirnya Ayah Fatimah menyadari bahwa antara anak gadisnya ada hubungan istimewa dengan pemuda itu, lalu secara diam diam ayah Fatimah bermaksud menjodohkan Fatimah dengan Mashor.
Untuk meyakinkan dugaannya akan kebaikan dan kemuliaan akhlak Mashor, , maka ayah Fatimah mengatur siasat.
Suatu hari ia memanggil Mashor, ia suruh Mashor menemani Fatimah malam nanti, karena mereka suami isteri akan bepergian ke luar kota Martapura. Lalu, sehabis asar, ayah Fatimah bersama isterinya berangkat dengan kenderaan kereta kuda.
Selama diperjalanan, ibu Fatimah memperotes suaminya, kenapa ia suruh Mashor menemani Fatimah, hanya berdua hingga malam hari lagi, ibunya Fatimah sangat khawatir kalau kalau terjadi hal hal yang tidak pantas antara mereka berdua, mengingat mereka berdua sama sama anak muda. Ayah Fatimah, tidak maladeni omelan isterinya, bahkan ia hanya tersenyum untuk meyakinkan isterinya.
Namun setibanya ditempat tujuan, setelah beristirahat, menjelang magrib, ayah Fatimah kembali ke Martapura seorang diri. Sampai di Martapura, hari mulai agak gelap, ayah Fatimah mendekati rumah secara sembunyi, dan mengendap kebawah kolong rumah panggungnya.
Sambil menahan gigitan nyamuk, ayah Fatimah berusaha menahan diri agar keberadaanya tidak diktahui oleh anak dan pembantunya itu. Ia berusaha mengintip apa yang mereka lakukan, sambil terus waspada, siap menyerbu jika saja Mashor melakukan pebuatan tidak senonoh.
Waktu magrib tiba, ia mendengar obrolan ringan antara Mashor dengan Fatimah, ia pasang telinga mendekat kelantai rumah diatas kepalanya agar dapat mendengarnya dengan lebih jelas,
Ading Timah ! Kaka handak sambahyang magrib, ayu kita baimaman ( Dik Fatimah, Kakak mau sholat magrib, mari kita berjamamah *)edit ),
Inggih Ka Mashor, tapi kita kada boleh baduaan sakamar ( ya Kak Mashor, tapi kita tidak boleh berdua saja dalam satu kamar *)
Kada usah kita sakamar, Ading buka haja lawang tu supaya kamar kita tasambung, Kaka sambahyang disini Ading disana ( tidak usah sekamar, cukup Adik buka pintunya saja agar dua kamar ini terhubung, Kakak disini, Adik disana *)
Mereka sholat magrib berjamaah tapi tetap dikamar masing masing, dilanjutkan dengan wirid dan doa. Usai sholat, kedua anak muda itu pun melanjutkan pembicaraan, sayup kedengaran kebawah kolong rumah, karenanya ayah Fatimah sekali lagi harus mendekatkan telinganya kelantai rumah diatas kepalanya, hingga pembicaraan anak dan pembantunya itu cukup jelas didengarnya, keduanya mengungkapkan perasaan hatinya dari kamar masing masing.
Fatimah, dan Mashor berjanji untuk dapat hidup bersama, sama-sama berusaha menyingkirkan apapun halangan yang akan mereka alami nantinya, keduanyapun saling bersumpah setia, dan dalam ucapan janjinya Mashor pun menambahkan dengan kalimat “Ashadu allailaha illallah”…. Dan Fatimah menyambungnya dengan kalimat “Asyhadu annna Muhammadarrasulullah” Baik Mashor maupun Fatimah, sama-sama berdoa dalam hatinya, agar tidak dimatikan oleh Allah sebelum dipersatukannya bagaikan bersatunya dua kalimat syahadat yang mereka ucapkan.
Setelah itu sudah nampak jelaslah bagi ayah Fatimah, bagaimana mulianya akhlak Mashor, yang ternyata sangat dicintai oleh anak gadisnya, jangankan menyentuh perempuan yang bukan muhrimnya, untuk sholat berjamaah saja ia tidak mau berduaan dalam satu kamar dengan gadis yang dicintainya.
Ayah Fatimah buru buru mengendap endap keluar kolong, pergi meningalkan rumah itu, dan kembali keluar kota, secepatnya agar bisa sholat magrib sebelum habis waktunya.
Usai sholat magrib, ia panggil isterinya, ia ceritakan apa yang didengarnya, dan ia meyakinkan isterinya bahwa Mashor pembantunya itulah pemuda yang sangat cocok untuk jodoh anak mereka Fatimah, karena sudah teruji kejujuran dan kemuliaan akhlaknya.
Waktupun berlalu, Mashor tetap bekerja sebagaimana biasa, tanpa ada yang menyadari perihal hubungan asmara antara dirinya dengan anak majikannya, bahkan keduanya tidak menyadari klau kedua orang tua Fatimah sudah mengetahuinya.
Suatu hari, datanglah sepucuk surat dari Pengadilan Agama Malaysia, isinya memberitahukan bahwa seorang laki laki yang berasal dari Martapura telah meningal dunia, meninggalkan sebidang kebun karet di wilayah Johor, tanpa ada ahli warisnya di Malaysia. Menurut pihak Pengadilan, setelah melakukan penelitian, ternyata ahli waris satu satunya dari orang yang meninggal itu adalah bernama Mashor yang tinggal di Martapura, dan saat itu harga karet sedang bagus bagusnya.
Mashorpun bermaksud berangkat ke Johor untuk mengurus harta warisan yang diperolehnya. Ia berpamitan kepada majikannya, termasuk kepada Fatimah gadis yang dicintainya.
Saat Mashor berpamitan, Fatimah berjanji untuk menunggunya, dan Mashor selesai urusannya di Johor segera kembali dan suatu saat akan melamarnya. Sebelum berangkat, mashor bermohon diri kepada segenap anggota keluarga itu.
Berselang beberapa waktu setelah kepergian Mashor ke Malaysia, meletus konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia, seiring dengan itu Mashor pun tidak ada kabar beritanya lagi.
Suatu hari datanglah utusan dari keluarga kaya bernama Muhdar yang masih ada hubungan keluarga dengan Fatimah, membawa kabar bahwa keluarga itu hendak badatang (melamar*) Fatimah.
Mengingat sudah sekian lama orang tua Fatimah tidak mendengar kabar tentang keberadaan Mashor seiring meletusnya konfrontasi, maka kedua orang tua itu berusaha membujuk Fatimah agar mau menerima lamaran keluarga Muhdar. Dengan persaan galau ditengah ketidak pastian keberadaan Mashor, Fatimah tidak berdaya menolak bujukan orang tuanya, hingga meski dengan berat hati ia menyetujui keinginan ibu bapaknya untuk menerima lamaran Muhdar, dia sadar kalau menentang kemauan orang tuanya sama saja dengan menyakiti perasaan mereka, padahal menyakiti hati orang tua adalah perbuatan yang durhaka. Dia kenal betul perangai Muhdar, walaupun kaya tetapi dia tidak mempunyai budi pekerti dan ilmu agama sebaik Mashor. Dan ia tidak dapat mendustai hatinya yang masih tetap setia mencintai Mashor, cinta yang diyakininya membawa kebahagian di dunia dan di akhirat, yaitu hidup bersama Mashor, pemuda yang alim dan baik budi.
Utusan keluarga Muhdar datang melamar, lengkap dengan barang bawaan, sesuai dengan derajat kekayaan orang tersebut saat itu. Niat Muhdar disambut baik oleh keluarga Fatimah, mereka sepakat untuk mengadakan perkawinan besar-besaran. Hal ini tidak menjadi beban bagi Muhdar karena kekayaannya .
Keluarga Muhdar datang dengan beberapa kapal besar yang membawa jujuran ( mas kawin *). Ada kapal yang membawa isi kamar lengkap,perhiasan emas dan batu permata, ada pakaian wanita yang indah-indah. Bagi keluarga Muhdor semua itu hal biasa, karena bisnis dagang keluarga ini hingga ke Singapura berupa batu permata dan kain. Mereka mempunyai banyak pelanggan di Singapura. Pada jaman tersebut sungai Martapura digunakan sebagai jalur perdagangan. Kapal-kapal besar pedagang Martapura sering berangkat membawa barang dagangan ke Pulau Jawa dan Sumatera hingga Singapura dan Malaysia. Sesuai dengan jalur perdagangan dunia antara Malaysia dan pulau Sumatera.
Akhirnya acara pernikahanpun dilangsungkan, dan pada saat bersamaan Mashor tiba tiba datang.
Dengan segala kebesaran jiwanya, dan karena cinta yang tulus kepada Fatimah, Mashor merelakan Fatimah dinikahkan dengan laki laki pilihan orang tuanya, ia relakan Fatimah memenuhi permintaan orang tuanya karena Fatimah harus berbaktinya kepada ibu bapaknya.
Sebagaimana lazimnya adat, keluarga dan tetangga bergotong royong menyiapkan upacara itu, manajak sarubung (membuat tarub*), manajak tungku pangawahan ( membuat tungku untuk kuali besar *), menghias rumah dan kamar pengantin,dll. Dengan segenap kekuatan jiwanya, menahan perasaan, Mashorpun ikut membantu segala persiapan itu.
Saat Mashor memindahkan kayu bakar kesamping rumah, tiba tiba dari jendela ada yang membuang sampah dan sampah itu mengenai Mashor. Mashor menengadah, dan dari jendela muncul kepala seorang perempuan yang ternyata adalah Fatimah, mereka bersadu pandang, tanpa senyum, tak sepatahpun kata terucap, namun dalam hatinya Mashor berkata “duh nasibku, orang kucintai, sudah berjanji sehiiiiiiiiiiidup semati, kini menikah dengan orang lain, bahkan kini aku ditimpuki sampah…………… nasib.. nasib..
Fatimah dalam hatinya juga berkata, maaf Kak Mashor, kasihan sekali, aku tidak sengaja, maafkanlah aku Kak!………………
Malam pertama, sebagai perempuan yang mengerti dan taat beragama, Fatimah sadar ia harus melayani suaminya Muhdor. Tapi disebagian hatinya ada rasa bersalah, besalah kepada Mashor karena ia pernah berjanji untuk hidup bersama denganMashor, janji yang diikat dengan sama sama mengucapkan dua penggalan kalimah syahadat, sepenggal diucapkan oleh Mashor dan sepenggal lagi diucapkan oleh Fatimah.
Fatimah meminta izin kepada Muhdor suaminya, ntuk meminta ridlo kepada Mashor karena ia tidak dapat menepati janjinya dulu untuk hidup bersama. Muhdor mengizinkan dengan syarat bahwa Fatimah hanya boleh bertemu dan berbicara kepada Mashor dari depan rumah sementara Mashor tetap di dalam rumah, Mashor tidak boleh keluar rumah barang selangkah, dan Fatimah tidak boleh masuk rumah Mashor selangkah juapun. Muhdor bisa percaya pada Fatimah karena ia tahu isterinya itu memang wanita salehah yang dapat dipercaya.
Malam itu, Mashor yang sedang berbaring sedari tadi, namun matanya tidak kunjung mengantuk, khayalannya mengembara kemana mana, tiba tiba ia mendengar langkah kaki, langkah kaki itu seperti sudah dikenalnya, namun ia tidak memastikan itu siapa, semakin dekat bunyi langkah itu semakin jelas, ia seakan mendengar bunyi langkah kaki Fatimah. Dan Mashor pun langsung melompat dari pembaringannya begitu ia mendengar pintu depan rumah diketuk.
Mashor tidak yakin yang datang malam itu adalah Fatimah, meski demikian ia tetap membuka pintu tapi tidak mempersilakan Fatimah masuk, karena ia sadar bahwa yang datang malam itu adalah isteri orang dan ia sendiri sedang sendirian dirumah.
Fatimah mengemukakan maksudnya untuk meminta maaf karena tidak bisa menepati janjinnya, karenanya ia meminta Mashor agar sama sama menarik kembali janji mereka dulu dengan sama mengucapkan kembali dua kalimah syahadat. Lalu Fatimah mengucapkan kalimat “Asyhadu allailaha illallah”…. dan Mashor pun mengucapkan “Asyhadu anna muhamadarrasulullah”
Fatimah pun pulang. Sepulangnya Fatimah, mashor kembali dalam kesendiriannya.
Mashor yang belum tidur melihat dari kejauhan warna merah di langit yang menadakan ada kebakaran besar. Dia yakin kebakaran itu berada di rumah Fatimah. Tanpa peduli apapun dia langsung berlari mengambil jukung. Setelah sampai di rumah Fatimah dia diberitahu bahwa Fatimah terjebak di dalamnya.
Malam itu, rupanya Muhdar dan Fatimah tidur di kamar penganten. Belum sempat malam pertama itu terjadi ternyata rumah Fatimah terbakar akibat api dapur yang lupa di matikan. Muhdar lari keluar dengan segera menyelamatkan diri, tanpa memperdulikan Fatimah. Api semakin membesar, Fatimah terjebak di dalamnya.
Sesampainya dirumah Fatimah yang terbakar itu, dengan kekuatan cintanya Mashor menerobos api. Ia menemukan Fatimah dalam keadaan pingsan karena terlalu banyak menghirup asap. Dia angkat Fatimah dalam gendongan melewati api yang besar. Dengan badannya dia melindungi Fatimah dari jilatan api dan kayu rumah yang berjatuhan. Setelah dia sampai diluar, Mashor disambut Muhdar dengan merebut Fatimah dari pangkuan Mashor., Mashor pun pingsan karena terlalu banyak luka bakar yang dialaminya.
Keluarga Fatimah memerintahkan agar mashor dirawat kembali di gubuk tempatnya bekerja. Dan menginginkan agar peristiwa heroik ini jangan sampai diketahui Fatimah.
Subuh harinya mashor tidak bisa bertahan. Dia meninggal karena luka bakar yang terlalu parah. Setelah sholat dzuhur dia dimakamkan di daerah perkebunan karet tersebut. Atau tepatnya sekarang berada di desa Tungkaran. Makam Mashor sederhana dengan nisan ulin. Untuk mencegah gangguan babi hutan kuburannya diberi pagar dari bambu.
Semuanya berada di pemakaman, baik teman-teman Mashor maupun keluarga Fatiamah. Tetapi Fatimah tidak mengetahui kematian ini. Dia masih lemah di kamar rumah Muhdar. Dia masih bertanya di dalam hati bagaimana dia bisa selamat, padahal suaminya sendiri meninggalkannya saat kebakaran itu terjadi.
Sewaktu malam hari pertanyaan itu di keluarkannya pada acil ijah yang sejak kecil merawatnya. Acil ijah tahu betul perasaan Fatimah kepada Mashor. Karena tidak dapat mendustai tuannya yang sejak kecil dia pelihara tersebut akhirnya dia ceritakan peristiwa kebakaran itu.
Fatimah yang sangat rindu Mashor akhirnya menanyakan keberadaan Mashor. Dengan sangat hati-hati acil ijah menceritakan kematian Mashor dan memberitahukan letak kuburannya. Dia berjanji menemani Fatimah besok pagi untuk ziarah ke kuburan Mashor.
Fatimah Sangat terpukul hatinya mengetahui pemuda yang menyelamatkannya dan dicintainya telah tiada. Menangislah Fatimah sejadinya. Setelah semua orang terlelap tidur, jam 3 subuh tanpa sepengetahuan yang lain Fatimah keluar rumah. Dia tidak dapat menyimpan perasaan rindu dan dukanya.
Tanpa menunggu siang dia bertekad harus menemukan kekuburan mashor. Dia tidak yakin kekasihnya sudah meninggal jika tidak menemukan kuburannya langsung. Dia seberangi sungai Martapura dan berjalan menyisir jalan setapak. Dia masih ingat letak kebun karet keluarganya ketika ayahnya pernah mengajaknya sewaktu kecil. Malam itu hari hujan dengan deras tetapi tidak menyurutkan hati Fatimah, di dalam hatinya hanya ada satu nama Mashor. Dipikirannya hanya ada satu wajah Mashor pemuda yang sangat mengerti dirinya. Setelah tiba di kebun karet keluarganya, Fatimah tanpa sadar dan mungkin karena ilusi yang muncul karena obsesinya bertemu mashor, dia melihat Mashor berdiri, tersenyum
kepadanya di tengah rintik hujan.
Tanpa berpikir panjang Fatimah berlari ingin memeluk tubuh kekasihnya, melepaskan segala kerinduannya. Fatimah menubruk tubuh lelaki itu, hingga ia seniri terjatuh, tanpa disadarinya pagar yang terbuat dari bambu yang melindungi kuburan Mashor menusuk tubuh Fatimah tepat di dadanya. Darah mengucur dan menetes di atas kubur Mashor dan melumuri nisannya. Fatimah meninggal dengan senyum, dia yakin telah menemukan cintanya.

Cerita ini dikutip dan diedit dari tulisan di blog M. Jazuli Rahman  
jufeys17.blogspot.com/2009/04/cerita-rakyat-martapura-kabupaten.html